Sabtu, 17 Mei 2014

SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM MASA SAFAWI DI PERSIA

Standard



SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM MASA SAFAWI DI PERSIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
“ SEJARAH PERADABAN ISLAM”
 
Dosen Pembimbing
Lulman Fahmi, S.Ag., M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 4 BKI C1
Lilik Humaizah                      (B03212013)
Rahmawati                            (B03212020)
Riski Ariesta E.P                   (B03212022)
Siti Nadziro                            (B03212024)
 



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Peradaban Safawiyah
Dinasti Safawi di Persia berkuasa antara tahun 1520-1722 M. Dinasti Safawi merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar. Awalnya Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan terekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota Azerbaijan. Tarekat ini di beri nama tarekat Safawi, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din (1252-1334).[1]
Ada dua pendapat yang berbeda tentang etimologi/asal usul dari nama Safawi. Amir ali berpendapat bahwa safawi berasal dari kata Shafi yaitu, gelar yang diberikan kepada nenek moyang raja-raja Safawinya, yaitu Shafi ad-DinIshak Al-Ardabily (1225-1334), seorang pendiri dan pemimpin tarikat Safawiyah. Ia menyatakan bahwa para musafir, pedagang, dan penulis eropa selalu menyebut raja-raja Safiwiyah dengan gelar Shafi agung. Adupun P.M. Holt berpendapat bahwa Safawiyah berasal dari kata Safi, yaitu bagian dari nama Safi Ad-Din Al-Ardabily. Meskipun ia tidak mengemukakan alasan, secara gramatika bahasa Arab, pendapat inilah yang dipandang lebih tepat.[2]
Sebelum menjadi kerajaan, Safawi mengalami 2 fase pertumbuhan pertama fase dimana safawi bergerak dibidang keagamaan (cultural) dan kedua sebagai gerakan politik (struktural).
Pada tahun 1301 - 1447 M gerakan Safawi masih murni gerakan keagamaan dengan tarekat Safawiyah sebagai sarana, tarekat ini mempunyai pengikut yang sangat besar hal ini terjadi karena pada saat itu, umat umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk. Hanya dengan kehidupan keagamaan lewat sufisme, mereka mendapat persaudaraan tarekat, dan mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan antar muslim.
Pada fase pertama ini gerakan tarekat Safawi tidak mencampuri masalah politik sehingga dia berjalan dengan aman dan lancar baik pada masa Ilkhan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk.  Dan dalam fase ini gerakan Safawi mempunyai dua corak, pertama bernuansa Sunni yaitu pada masa pimpinan Safiuddin Ishaq ( 1301 - 1344) dan anaknya Sadruddin Musa (1344 - 1399), kedua berubah menjadi Syiah pada masa Khawaja Ali (1399 - 1427). Perubahan ini terjadi karena ada kemungkinan bertambahnya pengikut Safawi di kalangan syiah sehingga kepemimpinannya berusaha menyusuaian diri dengan aliran manyoritas pendukungnya.
Nama Safawi itu terus dipertahankan sampai terekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi.
Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Shafi Ad-Din merupakan keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazihim. Gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidin (1216 – 1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Ad-Din diambil menantun oleh gurunya tersebut. Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “Ahli-ahli bid’ah” tarekat yang dipimpim Shafi Ad- Addin ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia. Di negeri-negeri diluar Ardabil, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar Khalifah. Kerajaan ini mengatakan Syi’ah sebagai mazhab Negara.[3] Safi al Din adalah keturunan dari Imam Syi’ah yang ketujuh Musa Al-Khazim. Oleh karena itu dia masih keturunan Rasulullah dari garis puterinya Siti fatimah.
Kecenderungan memasuki dunia politik secara kongkrit tampak pada masa kepemimpinan junaidi (1447-1460 M). dinasti Shafawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasaan kegiatan ini menimbulkaan konflik antara junaidi dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut Junaidi kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Ditempat baru ini ia mendapatkan perlindungan dari penguasa Diar Bakr, Ak. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku bangsa Turki[4].
Selama dalam pengasingannya, Junaidi tidak tinggal diam, ia justru dapat menghimpun kegiatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan.
Tapi usaha Junaid masih mengalami kegagalan dalam meraih ambisinya karena selalu gagal dalam menaklukkan beberapa daerah seperti Ardabil dan Chircasia, bahkan dalam tahun 1460 M mati terbunuh. Kemudian digantikan anaknya yang bernama Haidar, tapi belum berhasil juga. Sebelum meninggal, Haidar menunjuk adiknya yang paling kecil bernama Ismail.
Ismail yang masih remaja itu berusaha memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid Safawiyah dan pemimpin gerakan Safawiyah untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Secara sembunyi-sembunyi, ia menjalin hubungan erat dengan para pengikutnya yang tersebar luas dimana-mana. Hanya dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia berhasil menyatukan berbagai elemen kekuatan politik yang cukup besar, sehingga ia mulai mengadakan perhitungan dengan musuh-musuh Safawiyah selama ini, seperti penguasa Syirwan dan Ak Kayunlu yang telah membunuh beberapa orang pemimpin Safawi sebelumnya.[5]
Kerajaan Safawi secara resmi berdiri di Persia pada 1501 M/907, tatkala Syah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja atau syah di Tabriz, dan menjadikan Syiah Itsna Asyariah sebagai ideologi negara. Namun event sejarah yang penting ini tidaklah berdiri sendiri. Peristiwa itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup panjang yakni kurang lebih dua abad.[6]
Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbasy dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan. Qizilbasy terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga Ismail I[7].
Ismail I berkuasa kurang lebih 23 tahun antara 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, Buktinya ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent) .
Bahkan tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki Usmani. Ismail berusaha merebut dan mengadakan ekspansi ke wilayah kerajaan Usmani (1514 M), tetapi dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan malah Turki Usmani yang di pimpin oleh sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya[8].
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya dia berubah, dia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan itu berdampak negatif bagi kerajaan Safawi dan pada akhirnya terjadi persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin kerajaan Safawi antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat keturunan Persia dan Qizibash[9].
Keadaan ini baru dapat diatasi pada masa pemerintahan raja Abbas I. Langkah-langkah yang ditempuh  oleh Abbas I untuk memperbaiki situasi adalah :
1.    Menghilang dominasi pasukan Qizilbasy atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang beranggotakan budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.
2.    Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Unar, Usman) dalam khotbah Jumatnya.[10]
Usaha-usaha tersebut terbukti membawa hasil yang baik dan membuat kerajaan Safawi kembali kuat. Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali daerah yang telah lepas dari Safawi maupun mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Herat (1598 M), Marw dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai menyerang kerajaan Turki Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani, Ganja, Baghdad, Nakhchivan, Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I berhasil menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[11]
      Berikut urutan penguasa kerajaan Safawi :
  1. Isma'il I (1501-1524 M)  
  2. Tahmasp I (1524-1576 M) 
  3. Isma'il II (1576-1577 M) 
  4. Muhammad Khudabanda (1577-1587 M) 
  5.  Abbas I (1587-1628 M) 
  6. Safi Mirza (1628-1642 M) 
  7. Abbas II (1642-1667 M) 
  8. Sulaiman (1667-1694 M) 
  9. Husein I (1694-1722 M) 
  10. Tahmasp II (1722-1732 M) 
  11.  Abbas III (1732-1736 M)
Kerajaan Safawi mempunyai pola pemerintahan yang teokratik, sebab para penguasa bukan saja mengaku sebagai keturunan Ali, namun juga mengklaim berstatus sebagai titisan para Imam Syi’ah, bahkan Ismail I mengaku sebagai penjelmaan Tuhan, sinar ketuhanan dari imam yang tersembunyi, dan imam Mahdi. Ia memakai gelar Bayangan Tuhan di Bumi, meniru gelar yang dipakai oleh raja-raja Persia.[12] Dengan sistem teoraksi ala Syi’ah tersebut, kemudian dipadukan dengan sistem tarekat, kerajaan Safawi memiliki kemudahan dalam melakukan konsolidasi pemerintahan. Akan tetapi, dengan sistem itu pula ia menghadapi persoalan yang cukup krusial.
Dalam menjalankan tugasnya, kepala Negara terutama pada masa-masa awal memiliki kemudahan-kemudahan tertentu disamping menghadapi persoalan yang cukup krusial. Ini berkaitan dengan posisi mereka . di satu sisi ia adalah mursyidi kamil (pembimbing spiritual yang sempurna) dan di sisi lain adalah padisyah (raja). Ketundukan dari para bawahan dan rakyatnya sebagai pengikut tarekat, sebagaimana terjadi dalam tarekat lain, hampir tanpa reserve (cadangan). Hal ini sangat memudahkan raja dalam melakukan konsolidasi pemerintahannya. Sementara itu, dalam kepercayaan tarekat kesempurnaan yang ada pada mursyidi kamil tak tergoyahkan. Oleh karena itu para pengikut tarekat tidak dapat menerima kenyataan ketika pemimpinnya dikalahkan oleh lawannya. Ini terjadi ketika pasukan Qizilbasy dikalahkan oleh pasukan Turki Usmani pada pertempuran di Chaldiran pada tahun 1514 M. Mereka mengalami shock keagamaan yang berat, karena menurut kepercayaan mereka pemimpin mereka tak bisa terkalahkan.[13]

B.     Perkembangan dan Kemajuan
Peran kesejarahan kerajaan Safawi begitu besar. Hal ini dapat dilihat dari sisi kemajuan dan kejayaannya. Kendati demikian, masa kemajuan kerajaan Safawi tidak langsung terwujud pada saat Dinasti itu berdiri dibawah Ismail, raja pertama (1501-1524 M). Kejayaan  Safawi yang gemilang baru dicapai pada pemerintahan syah Abbas yang Agung (1587-1629 M) raja yang kelima. Walaupun begitu, peran Ismail sebagai pendiri Safawi sangat besar sebagai peletak pondasi bagi kemajuan Safawi di kemudian hari. Di samping telah memberikan corak yang khas bagi Safawi dengan menetapkan Syi’ah sebagai agama Negara, Syah Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi negaranya, yaitu perluasan wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang unik pada masanya.[14]
Beberapa kemajuan dalam berbagai aspek pada masa pemerintahan kerajaan Safawi antara lain sebagai berikut :

                 1.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Pengertian kemajuan dibidang politik disini adalah terwujudnya integritas wilayah Negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu Negara ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata, Syah Abbas I juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan bersenjata dinasti Safawi yang kuat, besar dan modern. Tentara Qizilbasy yang pernah menjadi tulang punggung Dinasti Safawi pada awalnya dipandang Syah Abbas tidak diharapkan lagi, sehingga ia membangun  suatu angkatan bersenjata reguler. Inti satuan militer ini ia ambil dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristern di Georia dan di Chircassia. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan persenjataan yang modern. Sebagai pimpinannya ia mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.[15]
Berkat kegigihannya Syah Abbas mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah disebut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.
Diantara unsur yang menjadikan kuatnya politik safawi adalah kuatnya pribadi penguasa Safawi, terutama Syah Abbas I yang digambarkan berpandangan tajam, bekal kuat, berkemauan besar, berani dan mempunyai semangat yang tinggi serta tak kenal lelah.[16] Selain itu, unsur yang juga mempunyai pengaruh besar dalam kekuatan politik Safawi adalah kesetiaan pasukan Qizilbasy kepada raja Safawi. Kemampuan Syah (raja) dalam mengatur administrasi negara juga merupakan unsur kemajuan politik kerajaan Safawi yang tidak bisa diremehkan. Bentuk administrasi yang dijalankan dalam kerajaan Safawi adalah, Jenjang tertinggi setelah Syah adalah Azamat al-Daulah yang fungsinya seperti Perdana Menteri, jenjang dibawahnya adalah al-Sadr yang fungsinya seperti menteri Agama, tugasnya antara lain mengurusi masalah peradilan, tempat-tempat ibadah dan kegiatan ulama serta pelajar. Jabatan berikutnya adalah al-Nazir yang mirip dengan menteri Bulog. Lalu Rais al-Khidam sebagai sekretaris menteri-menteri. Jabatan yang lain adalah Nazr al-Maliah yang bertugas mengurus Baitul Mall serta perpajakan. Pengawasan Syah pada merekabsangat ketat dan tindakan yang diberikannya kepada pelanggar tugas sangat keras.[17]

                 2.      Bidang Ekonomi
Kerajaan Safawi pada masa Syah Abbas mengalami kemajuan dibidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan. Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antar Timur dan Barat. Yang biasa diperebut oleh Belanda, Inggris, dan Perancis, sesungguhnya menjadi milik Kerajaan Safawi.[18]
Diantara kemajuan yang tampak dalam bidang ekonomi adalah [19]:
a.       Ramainya perdagangan melalui teluk Persi, dan meningkatnya ekspor Safawi, terutama komoditi sutra.
b.      Lancarnya perdagangan dengan luar negeri, terutama dengan inggris, hingga menimbulkan iri para niagawan Portugis. Hal ini bias dilihat dari usaha Portugis menghalangi kapal-kapal niaga Inggris yang menuju Persia Safawi, sehingga terjadi pertempuran antara keduanya dan pihak Safawi membantu Inggris. Dari pertempuran itu pangkalan Hurmuz jatuh ke tangan Safawi sehingga arus perdagangan ke Safawi semakin deras.
c.       Digalakkannya bidang pertanian, terutama yang digunakan untuk peternakan ulat sutra, sehingga produktivitas pertanian meningkat.
d.      Dibangunnya fasilitas perdagangan yang memadai, seperti sarana transfortasi, jembatan-jembatan, pusat-pusat perdagangan dan jalur yang luas yang menghubungkan daerah sebelah timur laut Kaspia dengan daerah di sebelah baratnya.

                  3.      Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Sains
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang peradaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di majlis istana yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi (generalis iptek), Sadar Al-Din Al-Syaerazi (filosof), dan Muhammad Baqir bin Muhammad Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan lebah-lebah).[20] Dalam bidang ilmu pengetahuan, Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada kerajaan Mughal dan Turki Usmani.[21] Pada masa Safawi Filsafat dan Sains bangkit kembali di dunia Islam, khususnya dikalangan orang-orang persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran Syiah yang ditetapkan Dinasti Safawi sebagai agama resmi Negara.
Dalam Syiah Dua Belas ada dua golongan, yakni Akhbari dan Ushui. Mereka berbeda didalam memahami ajaran agama. Yang pertama cenderung berpegang kepada hasil ijtihad para mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedang kedua mengambil dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat kepada para mujthadi. Golongan Ushuli inilah yang palling berperan pada masa Safawi.
Menurut Hodhson, ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi tersebut. Pertama, aliran filsafat “Perifatetik” sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-Farabi. Kedua filsafat Isyraqi yang dibawa oleh Syaharawadi pada abad ke XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan Isfahan dan Syiraj. Di bidang filosof ini muncul beberapa orang filosof diantaranya Muhammad Baqir Damad (W. 1631 M) yang dianggap guru ketiga sesudah Aristoteles dan Al-Farabi, tokoh lainnya misalnya Mulla Shadra yang menurut sejartah ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya[22].
                 4.      Bidang Perkembangan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota Kerajaan yang sangat indah. Disana terdapat bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa di atas Zende Rud dan Istana Chilil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secra apik. Ketika Abbas I wafat di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 Akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.[23]
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannyaseperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan mesjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Raja Tahmasp I.[24]
Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Safawi, kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung bersejarah.
C.    Kemunduran dan Kehancuran
Masa Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi dimulai sejak Raja Abbas I telah tiada, sepeninggal Abbas I kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husen (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), Abbas III (1732-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut, kondisi Kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran, karena Kerajaannya ketika itu diperintah oleh raja-raja yang lemah dan memiliki perangai dan sifat yang buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang respon dan timbul sikap masa bodoh terhadap pemerintahan.
Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh dalam pemerintahan sebelumnya (Abbas I). Kota Qandahar lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerajaan Usmani.
Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi[25].
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi.
Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan pengakuai ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Shah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan[26].
Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia[27].
Raja-raja yang memerintah setelah Abbas I adalah sebagai berikut:

No

Nama Raja

Masa Berkuasa
Indikasi
Kemunduran & Kehancuran
1
Safi Mirza
628-1642 M
a.       Jiwa lidershipnya lemah.
b.      Sangat kejam terhadap para pembesar Kerajaan.
c.       Memiliki sifat cemburu terhadap petinggi kerajaan.
d.      Kota Qandahar lepas dan diduduki Kerajaan Mughal (Sultan Syah Jehan).
e.       Bagdad direbut oleh Kerajaan Turki Usmani.
2
Abbas II
1642-1667 M
a.       Sifat dan Moralnya jelek.
b.      Pemabuk / suka minum minuman keras.
3
Sulaiman
667-1694 M
-  Kejam terhadap para pembesar Kerajaan, terutama terhadap orang-orang yang dicurigainya
-   Karena sifat & moralnya yang buruk itu rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahannya
4
Husen
1694-1722 M
a.       Memberi kekuasaan yang besar kepada para ‘ulama Syi’ah.
b.      Ulama Syi’ah sering salah menggunakan kewenangan / kekuasaan yang diberikan raja.
c.       Ulama Syi’ah sering memaksakan pendapat terhadap penganut aliran Sunni sehingga membuat golongan Sunni marah.
d.      Konflik yang terjadi antara golongan Syi’ah dengan Sunni berimplikasi pada sistem pemerintahan menjadi tidak stabil secara berkelanjutan.
e.       Pernah terjadi pemberontakan bangsa Afghan yang di pimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud. Pada masa pemberontakan Mir mahmud ini, kota Qandahar lepas dari safawi, kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12 oktober 1722 M Shah Husein menyerah.
5
Tahmasp II
1722-1732 M
Dengan dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasannya di Astarabad. Kemudian ia bekerja sama dengan Madhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang menduduki kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan pada 1732 M.
6
Abbas III
1732-1736 M
-   Tidak berpengalaman.
-   Diangkat menjadi Raja pada saat masih kecil.[28]
-   Pada 1736 M, Abbas III dilengserkan kemudian kerajaan Safawi diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah kerajaan Safawi.

Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami kehancuran. Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Safawi :
1.      Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mazhab antar kedua kerajaan. Bagi Kerajaan Usmani, berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliaran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara kedua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun konflik itu pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian antara keduanya pada masa Raja Shah Abbas I, namun tak lama kemudian Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tida ada lagi perdamaian antara kedua kerajaan besar Islam itu.[29]
2.      Adanya dekadensi moral yang melanda sebagaian para pemimpin Kerajaan Safawi.
3.      Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qilzibash (baret merah) hal ini dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani. Seperti yang di alami oleh pasukan Qilzibash, sementara anggota pasukan Qilzibash yang baru tidak memiliki militansi dan semangat yag sam,a dengan anggota Qilzibash sebelumnya.
4.      Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana[30]
Selain hal tersebut di atas, pada abad 17 beberapa kalangan Ulama Syiah tidak lagi mau mengakui bahwa Safawiyah telah mewakili pemerintahan sang imam tersembunyi.pertama,Ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara turun temurun tersebut sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran islam Syiah. Kedua, selaras dengan keyakinan Syiah,bahkan semenjak masa keghaiban besar tahun 941 sang imam tersembunyi tidak lagi terwakili di muka bumi oleh Ulama.Selanjutnya Ulama menegaskan bahwasannya Mujtahid menduduki otoritas keagamaan yang tertinggi.
Kehancuran rezim ini juga di sebabkan sejumlah perubahan yang luar biasa dalam hal hubungan negara dan agama.Safawiyah semula merupakan sebuah gerakan,tetapi setelah berkuasa rezim ini justru menekan bentuk bentuk millenarian islam sufi seraya cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara. Safawiyah menjadikan Syiisme sebagai agama resmi Iran, dan mengeliminir pengikut sufi mereka sebagai mana yang dilakukanya terhadap ulama sunni
Dengan demikian bentuk-bentuk institusi kenegaraan, kesukuan dan institusi keagamaan safawiyah yang diciptakan oleh Abbas I telah mengalami perubahan secara mencolok pada akhir abad tujuh belas dan awal abad ke delapan belas.
Krisis abad 18 mengantarkan kepada berakhirnya sejarah Iran pramodern. Hampir diseluruh wilayah muslim, periode pramodern yang berakhir dengan Intervensi, penaklukan bangsa Eropa, dan dengan pembentukan beberapa rezim kolonial, maka dalam hal ini konsolidasi ekonomi dan pengaruh politik bangsa Eropa telah didahului dengan kehancuran Inperium Safawiyah dan dengan liberalisasi ulama.
Demikianlah, Rezim safawiyah telah meninggalkan warisan kepada Iran modern berupa tradisi Persia perihal sistem kerajaan yang agung, yakni sebuah rezim yang dibangun berdasarkan kekuatan uymaq atau unsur unsur kesukuan yang utama, dan mewariskan sebuah kewenangan keagamaan syiah yang kohesif, monolitik dan mandiri.[31]

 DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Sejarah peradapan Islam, Jakarta : Amzah, 2013
Brockelman, Carl, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, Beirut : Dar al-Ilmu, 1974
Fatimah, Siti, (ed), dkk., Sejarah Peradaban Islam : dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta : Lesfi, 2004
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1981.
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989
Hodgson, Marshal G.S., The Venture of Islam, Vol. III, Chicago: The University of Chicago Press, 1981.
Holt, P.M.,  dkk, (ed), The Cambridge History Of Islam.Vol.IA, London : Cambridge University Press, 1970.
Kusdiana, Ading, Sejarah dan kebudayaan Islam periode Pertengahan, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2013
Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta : Rajawali, 1999.
Mubasyoh, Sejarah dakwah, Kudus : Nora Media Enterprise, 2010.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003


[1] Samsul Munir Amin, Sejarah peradapan Islam, (Jakarta : Amzah, 2013), h. 187
[2] Ading Kusdiana, Sejarah dan kebudayaan Islam periode pertengahan, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2013), h. 168
[3] Samsul Munir Amin, Sejarah peradapan Islam, h. 188
[4] Ibid.
[5] Ading Kusdiana, Sejarah dan kebudayaan Islam periode pertengahan, h. 175
[6] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 167
[7] Carl Brockelman, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, (Beirut : Dar al-Ilmu, 1974), h. 398.
[8] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), h. 337
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), 142
[10] P.M.Holt,  dkk, (ed), The Cambridge History Of Islam.Vol.IA,(London : Cambridge University Press, 1970), hal.417
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban  Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, h. 143
[12] Siti Fatimah (ed), dkk., Sejarah Peradaban Islam : dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta : Lesfi, 2004), h. 284
[13] Ibid.
[14] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, h. 173
[15] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo) hal. 175
[16] Mubasyoh, Sejarah dakwah, (Kudus : Nora Media Enterprise, 2010), h. 93
[17] Ibid.
[18] Carl Broekelmaun, Tarikh Al-Syu’ub Al-Islamiyah, Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974, hlm. 504
[19] Mubasyoh, Sejarah dakwah,h. 94
[20] Ibid, hlm 505
[21] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, h, 177
[22] Ibid.
[23] Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. III, Chicago: The University of Chicago Press,1981, hlm. 40
[24] Ibid.
[25] Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981), h. 71
[26] P.M. Holt (et.al), The Cambridge History of Islam, Jilid I,II, (Cambridge : Cambridge University Press, 1970), h. 426
[27] Ibid., h. 428-429
[28] Hamka, Sejarah Umat Islam, III, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981). hal 71-73.
[29] M. Holt, dkk (ed). The Cambridge History of Islam, Vol. 1 A, London: Cambrige University Press, 1970, hlm 426.
[30] Badri Yatim,op.ctl.,hal 141-143
[31] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta : rajawali, 1999), h. 467

0 komentar:

Posting Komentar